Rabu, 30 November 2011

Pengalaman di Bawah Laut

“Nan, jaga dulu kakakmu, ya.
Mama mau bantu Tante menyiapkan makan siang dulu,” panggil Mama dari dalam rumah Tante Is, menghentikan langkah riang Nanda menuju pantai. 
Nanda langsung cemberut. Lagi-lagi ia harus mengurusi Kak Nindi yang aneh itu. “Naaan!” panggil Mama lagi.
Terpaksa Nanda batal menikmati keindahan pantai Halmahera sendirian.
Kak Nindi sedang menderetkan mainan orang-orangannya. Nanda merenggut semakin dalam. Ia, kan, adik. Ia ingin punya kakak yang bisa diandalkan, bisa diajak mengobrol, dimintai pendapat ini itu. Bukan, kakak yang harus dijaga, yang aneh, yang suka marah-marah.
Tadi pagi saja, Kak Nindi mengamuk hebat karena ada sebutir nasi putih di piring nasi gorengnya.  
Nanda jadi tidak bisa sarapan dengan tenang. Dan, sekarang, sudah jauh-jauh ke Halmahera ia tidak bisa pergi ke pantai, harus menemani kakaknya dulu. 
“Uh… uh…” Kak Nindi memberi Nanda satu mainan orang-orangannya. Nanda menyimpannya di kantungnya dengan hati yang masih mengkal.Sorenya, akhirnya mereka sekeluarga bisa pergi ke pantai.
Tetapi, Kak Nindi malah marah-marah karena tidak biasa merasakan pasir di kakinya. Lagi-lagi Mama dan Tante sibuk mengurusi Kak Nindi dan mengacuhkan koleksi kerang-kerang Nanda. 
Dalam kekesalannya, Nanda bergumam, senangnya kalau ia kalau Kak Nindi tidak  ada.Ctaarr! Tiba-tiba cuaca memburuk dan petir menyambar-nyambar.
Byaaarr! Nanda terhempas gelombang tinggi, terseret masuk ke dalam pusaran air. Rasanya sakit sekali, kayak masuk mesin cuci! “Tolong, Mamaaa!” Jerit Nanda dalam hati.“Nan, bangun,” suara Mama terdengar memanggil Nanda.
Nanda membuka mata dan… lo, kok dia ada di tempat tidurnya di Jakarta?“Mau sekolah, gak, Nan?” ucap Mama lagi sambil membuka jendela kamar Nanda. 
Nanda menoleh ke samping, ke tempat tidur Kak Nindi. Ia semakin terkejut. Tidak ada tempat tidur di sampingnya!
“Ma, Kak Nindi ke mana?” tanya Nanda kebingungan.“Nindi? Nindi siapa?” Mama malah balik tertanya, “Jangan ngoceh macam-macam. Cepat mandi, sarapan,” kata Mama sebelum keluar kamar.Nanda berusaha mengingat-ngingat apa yang terjadi, tetapi sungguh tidak berhasil.
Nanda sibuk memeriksa kamar mandi, ruang keluarga, ruang makan, semuanya, sama sekali tidak ada tanda-tanda Kak Nindi.
Yang ada hanya Mama yang mencurahkan semua perhatiannya kepada Nanda. Nanda senang sekali. Akhirnya! Kebebasan dan perhatian yang ia tunggu-tunggu!Namun, kesenangan Nanda tidak lama, saat ia merogoh saku bajunya, ia menemukan sebuah mainan orang-orangan warna merah.
Mainan yang diberikan Kak Nindi di Halmahera! Melihat mainan itu, tiba-tiba Nanda ingat betapa Kak Nindi, biarpun aneh, selalu menyayanginya. Matanya yang juling selalu berseri-seri kalau melihat Nanda pulang sekolah.
Kak Nindi juga yang rajin menderetkan buku-buku pelajaran dan alat tulis Nanda, sehingga meja belajarnya selalu rapi.
Memang ia kesal kalau harus menjaga Kak Nindi, ia juga sedih kalau diolok-olok teman-teman sekolahnya soal Kak Nindi yang aneh.
Tetapi, seperti yang selalu ibu katakan, bukan maunya Kak Nindi dilahirkan dengan kelainan seperti itu.Tiba-tiba terdengar suara bergemuruh dan air laut bergulung-gulung masuk dari jendela, menerpa Nanda.
Seorang gadis cantik berpakaian adat berdiri tegak di atas ombak itu. Ia tersenyum menatap Nanda.Ia berkisah kalau ia adalah dayang Ratu Penunggu Laut di daerah Halmahera. Dulu ia hanya penduduk desa mungil di tepi pantai.
Suatu hari ia terseret ombak dan sampai di istana ratu penunggu laut. Di situ ia menikah dengan salah satu penduduk bawah laut. Ia ingin pulang ke desanya dan memperkenalkan suaminya kepada keluarganya.
Sayangnya, penduduk bawah laut itu memiliki wujud yang aneh, tidak seperti manusia biasa. Akibatnya ia dan suaminya ditolak oleh keluarganya.
Karena itu ia merasa sedih saat melihat keadaan Kak Nindi yang ditolak oleh Nanda.“Jadi, kamu sudah tahu rasanya kalau tidak ada Kak Nindi.
Kalau kamu mau, berkat sihirku, kamu bisa tinggal di sini terus bersama ibu dan teman-temanmu,” ucapnya lagi.“Tetapi, ini enggak nyata. Aku mau tinggal bersama ibuku yang sebenarnya. Lagipula…” Nanda terdiam, “Lagipula aku kangen Kak Nindi.
Ia sudah biasa tidur di sampingku. Kalau tidak ada aku, pasti dia marah-marah dan tidak bisa tidur,” kata Nanda mantap sambil menggenggam erat mainan orang-orangan Kak Nindi.
Gadis itu tersenyum dan dengan satu lambaian tangan lentiknya, Nanda kembali di pantai bersama Mama, Tante, dan Kak Nindi.
“Uh… uh…” Mata Kak Nindi yang juling bersinar-sinar saat ia mengulurkan tangannya ke Nanda.