Kamis, 01 Desember 2011

Ujian Sultan Ghanem

Istana

Sultan Ghanem mempunyai tiga anak laki-laki. Yang tertua bernama Dhiab, yang kedua bernama Said dan yang bungsu bernama Omar.
Sultan Ghanem adalah seorang penunggang kuda yang tangkas dan berani. Ia juga pemimpin pasukan perang yang gagah berani.
Dalam setiap pertempuran pastilah pasukannya menang. Selain itu Sultan Ghanem adalah seorang pemimpin yang adil dan bijaksana. Semua orang di negerinya hidup makmur.
Sultan menyadari, bahwa ia semakin hari semakin tua. Karena itu ia bermaksud untuk menentukan siapakah dari ketiga putranya yang akan dipilih sebagai penggantinya.
Sultan Ghanem menguji ketiga putranya. Pertama-tama yang diuji adalah putranya yang bungsu, Omar.
“Omar!” kata Sultan suatu hari.
“Besok, bangunkan aku pukul dua pagi! Kita akan bersama-sama pergi berburu!”
Akan tetapi keesokan hari jam dua pagi Omar belum bangun. Malah ayahnya yang membangunkannya. Mereka mengambil lembing, menyiapkan kuda lalu pergi berburu kelinci, ayam hutan dan burung-burung di hutan.
Ketika hari sudah siang, Sultan berkata kepada Omar.
“Sebaiknya kita beristirahat. Buatlah sebuah api unggun untuk memanggang binatang-binatang ini untuk makan siang!”
“Baik, Ayah!” sahut Omar.
“Dimana kau akan membuat api itu?” tanya Sultan Ghanem.
“Mari kita pergi ke sebuah pulau di tengah sungai yang kering itu. Jika kita memanggang hasil buruan di sana, maka tak akan ada penduduk yang datang untuk meminta-minta,” sahut Omar.
Berdua mereka lalu pergi ke pulau yang dimaksud Omar. Di sana Sultan Ghanem bertanya lagi.
“Omar, menurutmu manakah pakaian yang terbagus, makanan yang terlezat dan nama yang terbagus?”
Omar menjawab, “Pakaian yang terindah adalah kain sutera ungu, makanan yang terlezat adalah kurma dan nama yang terbagus adalah namaku!”
Api unggun

Mendengar jawaban Omar, Sultan Ghanem berpendapat Omar adalah orang yang suka mementingkan diri sendiri dan orang yang suka bersenang-senang saja. Ia tak mau memilih Omar sebagai penggantinya.
Keesokan hari, Sultan Ghanem memanggil Said putra keduanya. Ia menyuruh Said bangun pukul satu pagi untuk bersama-sama pergi berburu. Ternyata Said tidak bangun jam satu pagi, sehingga Sultan terpaksa membangunkannya.
Mereka mengambil peralatan berburu dan menyiapkan kuda, lalu pergi ke hutan untuk berburu. Pada tengah hari, Sultan berkata kepada Said.
“Said, mari kita beristirahat dan membuat api unggun. Menurutmu di manakah kita sebaiknya membuat api unggun itu?”
“Di dekat sini saja, Ayah. Di antara pohon-pohon,” jawab Said. Mereka lalu duduk di bawah sebuah pohon. Sambil makan, Sultan Ghanem bertanya lagi.
“Said! Menurutmu baju manakah yang terindah, makanan apa yang terlezat dan nama apakah yang terbagus?”
“Oo, baju yang terindah adalah baju dari kain satin, makanan yang terlezat adalah sup dan roti bakar dan nama yang terbagus adalah namaku sendiri!”
Mendengar jawaban Said, Sultan mendapat kesimpulan, bahwa ia seseorang yang hanya mau bersenang-senang saja, kurang teliti, pengecut dan suka bertindak sewenang-wenang.
Sekarang giliran putra tertua untuk diajak berburu. Sultan minta agar Dhiab membangunkannya pukul duabelas malam. Tepat pukul duabelas malam Dhiab bangun dan menyiapkan kuda serta perlengkapan berburu yang akan dibawa.
Setelah semua selesai, ia membangunkan ayahnya. Pagi-pagi sekali mereka sudah tiba di hutan.
Binatang-binatang di hutan banyak yang masih mengantuk. Dengan mudah Dhiab dan Sultan Ghanem dapat menangkap ayam dan kelinci hutan. Sultan gembira atas hasil buruannya hari itu.
Menjelang siang hari ia berkata kepada Dhiab. “Dhiab, sebaiknya kita beristirahat. Di manakah kau akan membuat api unggun untuk memanggang ayam dan kelinci hutan itu?”
“Di puncak gunung ini, Ayah!” jawab Dhiab segera. “Kalau kita memanggang daging di puncak gunung, maka orang-orang yang kelaparan dapat melihat kita. Mereka akan datang kemari dan kita makan bersama-sama mereka!”
Sultan Ghanem gembira mendengar kata-kata anaknya. Ia yakin Dhiab dapat menjadi seorang pemimpin yang baik. Kemudian ia bertanya lagi.
“Dhiab, menurutmu pakaian manakah yang terindah, makanan apa yang terlezat dan nama apakah yang terbagus?”
Dhiab menjawab, “Pakaian yang terindah adalah pakaian yang sederhana asal dapat menutupi tubuh kita, makanan yang terlezat adalah apa yang murah dan juga dapat dimakan oleh si miskin, dan nama yang terbaik adalah nama Nabi!”
Ketika mendengar jawaban anaknya, Sultan Ghanem sangat gembira. Ia yakin bahwa ia akan memilih Dhiab sebagai penggantinya.
Setelah menguji ketiga putranya, ia juga ingin menguji istrinya. Ia bertanya kepada istrinya, “Apakah yang paling pahit, paling manis dan yang paling besar?”
Kerajaan

Istri Sultan Ghanem minta waktu untuk memikirkan jawabannya. Ia lalu menemui saudaranya untuk menanyakan jawaban pertanyaan Sultan Ghanem itu.
Saudara istri sultan memberi nasehat agar ia menjawab, yang paling manis adalah madu, yang paling pahit adalah daun pepaya dan yang terbesar adalah dunia ini.
Tetapi dalam perjalanan pulang ia bertemu dengan Dhiab. Dhiab menasehati agar ibunya menjawab, yang manis adalah Qu’ran, yang terpahit adalah kematian dan yang terbesar adalah Tuhan.
Ratu lalu kembali ke istana. Sultan Ghanem telah menunggu karena ingin tahu jawaban istrinya. Ia ingin tahu apakah istrinya pun dapat menjadi penggantinya. Ketika melihat istrinya pulang, sultan gembira sekali.                                                            
Tetapi ketika Sultan Ghanem mendengar jawaban istrinya ia tidak percaya bahwa itu adalah            jawabannya sendiri. Sultan yakin itu pasti jawaban dari Dhiab. Sultan Ghanem bertanya,                  
“Apakah engkau tadi bertemu dengan Dhaib?”                                                                                   
“Tidak!” jawab istrinya.                                                                                                   
Sultan tahu bahwa istrinya berbohong. Ia lalu menyuruh istrinya naik ke puncak gunung dan mengumumkan bahwa Dhiab terbunuh oleh segerombolan perampok. Mendengar itu istri Sultan sangat terkejut.
“Tidak mungkin! Aku tadi bertemu dengannya di tengah jalan!” katanya membantah.
Sultan gembira. Ternyata benar bahwa jawaban istrinya itu diperoleh dari Dhiab. Maka Sultan Ghanem tak ragu-ragu lagi. Dhiab pun diangkat menjadi penggantinya.

Rabu, 30 November 2011

Pengalaman di Bawah Laut

“Nan, jaga dulu kakakmu, ya.
Mama mau bantu Tante menyiapkan makan siang dulu,” panggil Mama dari dalam rumah Tante Is, menghentikan langkah riang Nanda menuju pantai. 
Nanda langsung cemberut. Lagi-lagi ia harus mengurusi Kak Nindi yang aneh itu. “Naaan!” panggil Mama lagi.
Terpaksa Nanda batal menikmati keindahan pantai Halmahera sendirian.
Kak Nindi sedang menderetkan mainan orang-orangannya. Nanda merenggut semakin dalam. Ia, kan, adik. Ia ingin punya kakak yang bisa diandalkan, bisa diajak mengobrol, dimintai pendapat ini itu. Bukan, kakak yang harus dijaga, yang aneh, yang suka marah-marah.
Tadi pagi saja, Kak Nindi mengamuk hebat karena ada sebutir nasi putih di piring nasi gorengnya.  
Nanda jadi tidak bisa sarapan dengan tenang. Dan, sekarang, sudah jauh-jauh ke Halmahera ia tidak bisa pergi ke pantai, harus menemani kakaknya dulu. 
“Uh… uh…” Kak Nindi memberi Nanda satu mainan orang-orangannya. Nanda menyimpannya di kantungnya dengan hati yang masih mengkal.Sorenya, akhirnya mereka sekeluarga bisa pergi ke pantai.
Tetapi, Kak Nindi malah marah-marah karena tidak biasa merasakan pasir di kakinya. Lagi-lagi Mama dan Tante sibuk mengurusi Kak Nindi dan mengacuhkan koleksi kerang-kerang Nanda. 
Dalam kekesalannya, Nanda bergumam, senangnya kalau ia kalau Kak Nindi tidak  ada.Ctaarr! Tiba-tiba cuaca memburuk dan petir menyambar-nyambar.
Byaaarr! Nanda terhempas gelombang tinggi, terseret masuk ke dalam pusaran air. Rasanya sakit sekali, kayak masuk mesin cuci! “Tolong, Mamaaa!” Jerit Nanda dalam hati.“Nan, bangun,” suara Mama terdengar memanggil Nanda.
Nanda membuka mata dan… lo, kok dia ada di tempat tidurnya di Jakarta?“Mau sekolah, gak, Nan?” ucap Mama lagi sambil membuka jendela kamar Nanda. 
Nanda menoleh ke samping, ke tempat tidur Kak Nindi. Ia semakin terkejut. Tidak ada tempat tidur di sampingnya!
“Ma, Kak Nindi ke mana?” tanya Nanda kebingungan.“Nindi? Nindi siapa?” Mama malah balik tertanya, “Jangan ngoceh macam-macam. Cepat mandi, sarapan,” kata Mama sebelum keluar kamar.Nanda berusaha mengingat-ngingat apa yang terjadi, tetapi sungguh tidak berhasil.
Nanda sibuk memeriksa kamar mandi, ruang keluarga, ruang makan, semuanya, sama sekali tidak ada tanda-tanda Kak Nindi.
Yang ada hanya Mama yang mencurahkan semua perhatiannya kepada Nanda. Nanda senang sekali. Akhirnya! Kebebasan dan perhatian yang ia tunggu-tunggu!Namun, kesenangan Nanda tidak lama, saat ia merogoh saku bajunya, ia menemukan sebuah mainan orang-orangan warna merah.
Mainan yang diberikan Kak Nindi di Halmahera! Melihat mainan itu, tiba-tiba Nanda ingat betapa Kak Nindi, biarpun aneh, selalu menyayanginya. Matanya yang juling selalu berseri-seri kalau melihat Nanda pulang sekolah.
Kak Nindi juga yang rajin menderetkan buku-buku pelajaran dan alat tulis Nanda, sehingga meja belajarnya selalu rapi.
Memang ia kesal kalau harus menjaga Kak Nindi, ia juga sedih kalau diolok-olok teman-teman sekolahnya soal Kak Nindi yang aneh.
Tetapi, seperti yang selalu ibu katakan, bukan maunya Kak Nindi dilahirkan dengan kelainan seperti itu.Tiba-tiba terdengar suara bergemuruh dan air laut bergulung-gulung masuk dari jendela, menerpa Nanda.
Seorang gadis cantik berpakaian adat berdiri tegak di atas ombak itu. Ia tersenyum menatap Nanda.Ia berkisah kalau ia adalah dayang Ratu Penunggu Laut di daerah Halmahera. Dulu ia hanya penduduk desa mungil di tepi pantai.
Suatu hari ia terseret ombak dan sampai di istana ratu penunggu laut. Di situ ia menikah dengan salah satu penduduk bawah laut. Ia ingin pulang ke desanya dan memperkenalkan suaminya kepada keluarganya.
Sayangnya, penduduk bawah laut itu memiliki wujud yang aneh, tidak seperti manusia biasa. Akibatnya ia dan suaminya ditolak oleh keluarganya.
Karena itu ia merasa sedih saat melihat keadaan Kak Nindi yang ditolak oleh Nanda.“Jadi, kamu sudah tahu rasanya kalau tidak ada Kak Nindi.
Kalau kamu mau, berkat sihirku, kamu bisa tinggal di sini terus bersama ibu dan teman-temanmu,” ucapnya lagi.“Tetapi, ini enggak nyata. Aku mau tinggal bersama ibuku yang sebenarnya. Lagipula…” Nanda terdiam, “Lagipula aku kangen Kak Nindi.
Ia sudah biasa tidur di sampingku. Kalau tidak ada aku, pasti dia marah-marah dan tidak bisa tidur,” kata Nanda mantap sambil menggenggam erat mainan orang-orangan Kak Nindi.
Gadis itu tersenyum dan dengan satu lambaian tangan lentiknya, Nanda kembali di pantai bersama Mama, Tante, dan Kak Nindi.
“Uh… uh…” Mata Kak Nindi yang juling bersinar-sinar saat ia mengulurkan tangannya ke Nanda.